Saya berasal dari sebuah desa
kecil di Sumatera Barat. Desa yang jauh dari jalan aspal. Kami harus berjalan
kaki kurang lebih 2-3 km untuk sampai di Desa tetangga yang jalannya sudah
diaspal untuk dapat angkutan umum. Tidak ada kendaraan roda 4 yang masuk desa
kami kecuali setiap hari Jumat. Hari Jumat adalah hari pasar di desa tetangga,
jaraknya kurang lebih 10 km jalan tanah naik turun bukit, dan ditempuh dengan
waktu 30 menit dengan mobil “cigak baruak”. Ya, begitulah kami menyebut jenis
mobil ini, yaitu mobil pick up yang kemudian dikasih tenda, dan kursi dua baris
yang memanjang kebelakang. Cigak baruak sendiri artinya monyet. Dinamakan
demikian karna penumpangnya banyak yang gelantungan di belakang seperti monyet
karna gak muat duduk di dalam.
Waktu mau masuk SMP, saya tidak
diizinkan orang tua untuk sekolah di kota. Kedua kakak saya SMP nya di kota,
nge kost di rumah Saudara sekaligus menjaga dan mambantu saudara jagain anaknya
karena saudara saya tersebut sakit permanen. Ya, kakak2 saya masih SMP ketika
itu. Mereka harus mengerjakan pekerjaan rumah dan juga menjaga anak2 kakak saya
dua orang yang masih Balita. Saya tidak bisa membayangkan anak SMP jaman
sekarang melakukan itu. Orang2 dulu di satu sisi memang lebih cepat dewasa
dibandingkan dengan anak sekarang.
Saya akhirnya mendaftar sekolah
di SMP Kecamatan, jaraknya kurang lebih 8 km. Dari desa saya, harus melewati 3
desa (termasuk desa saya sendiri) untuk mencapai sekolah. Kebanyakan dari kami
ke sekolah dengan berjalan kaki. Berangkat dari rumah jam 6.30 pagi, dan
biasanya sampai sekolah jam 7.45. 3 km pertama perjalanan kami melewati jalan
yang tidak diaspal. Jika musim hujan jalan tersebut akan becek dan lengket,
karna terdiri dari tanah liat. Banyak diantara kami yang menjinjing sepatu dari
rumah, namun banyak juga yang memakainya. Sampai di Desa sebelah, biasanya kami
akan mencuci sepatu tersebut di parit depan mesjid yang airnya mengalir deras.
Sebenarnya kami tidak pernah
merasa nyaman kalau melewati desa sebelah tersebut, karna mereka sering
mengejek kami. “Lihat..anak desa pergi ke kota” kata mereka sambil ketawa2.
“Aspalnya lengket ya?” lanjut mereka ketika mereka melihat kami membersihkan
sepatu di parit depan mesjid tsb. Tapi kami tidak pernah merasa rendah
dihadapan mereka, walaupun kami hanya bisa diam, karena tau ini daerah mereka.
Sering mereka memprovokasi, tapi sekali lagi kami hanya bisa diam. Desa mereka
satu2nya akses kami ke luar desa. Pernah suatu kali kami melayani mereka dan
terjadi perkelahian. Besoknya kami terpaksa perputar melewati sawah, ladang dan
bukit2 untuk menuju sekolah.
0 komentar:
Posting Komentar