Rabu, 25 Februari 2009

Senin, 23 Februari 2009

Mesjid Kecil Peranap-Air MOlek

Suara ngaji di mesji tiba-tiba terputus saat kami beranjak dari peranap. itu artinya pemadaman sudah dimulai. sebentar lagi magrib, dasar PLN, selalu matikan lampu saat orang mau sholat magrib, mungkin demikian gerutu orang2 saat itu. Sholat magrib di jalan aja, kira-kira demikian usul sang sopir yang tak terucapkan, dan diamini seluruh penumpangnya.
Jam 18.30, gelap sepanjang jalan, lampu mati, tapi sebagian ada yang hidup terang benderang, brarti dia pake genset. kapan sholat magrib? demikian pertanyaan penumpang yang juga tidak terucapkan. Nanti kita cari mushola, kata sang sopir yang seolah2 tau pertanyaan dalam hati penumpang.
Sebuah mesjid kecil berdiri pas di tikungan, agak tinggi dari jalan, dan keliatannya terang benderang. kami berhenti dan langsung turun nyari tempat wudhu. Di dalam mesjid 3 orang laki2 yang sudah tua dan kira2 tiga orang perempuan yang juga sudah tua baru saja selesai sholat. PEmandangan yang biasa sebenarnya. Yang gak biasa kalo mesjid tu rame sama anak muda yang lagi sholat pas magrib atau waktu lain.
Wudhu, sholat, dan doa....dan tiba-tiba sgelas air mineral (aqua gelas) dibagikan oleh pengurus mesjid kepada kami. silakan minum, dengan ramah mereka persilakan kami minum. sejurus kemudian sebuah mobil berhenti lagi dan 3 orang laki2 setengah baya juga masuk untuk sholat, kembali pengurus mesjd tersebut mengambil aqua gelas dan menyiapkannya untuk orang2 terebut pabila mereka selesai sholat.

YAng terpikir olehku waktu itu ketika dihidangankan minuman adalah, Dimana tempat infaknya? Sebuah sambutan yang bagus dan menyentuh, keramahan ala orang desa, mereka tidak menyorongkan kota infak, tapi menghidangkan air minum. namun justru kami yang nyari kotak infaknya. mereka tempatkan kota infak di dekat mimbar, di atas meja. tidak disodorkan ke kami. tapi sentuhan hangat dari penduduk desa membuat kami ikhlas seikhlasnya memberikan infak, yang mungkin lebih besar dari biasanya.

Catt. Ikhlas tidak bisa dinilai oleh diri sendiri sebenarnya, apalagi kalo sudah dipublikasikan kayak gini. tapi itu cuma pngambaran aja.

Kamis, 19 Februari 2009

KEPOMPONG DAN KUPU-KUPU

Dua kali saya menerima email yang sama, yaitu tentang seseorang dan kepompong. Dulu waktu saya kuliah dan terakhir sekitar sebulan yang lalu.
Saya tertarik untuk membahasnya karena disamping saat ini lagu kepompong nya sindentosca lagi hits, juga pesan moral nya terasa mengena, baik ketika waktu saya kuliah maupun sekarang ini.
Isi email tersebut adalah seperti di bawah ini :

Seseorang menemukan kepompong seekor kupu. Suatu hari lubang kecil muncul. Dia duduk mengamati dalam beberapa jam calon kupu-kupu itu ketika dia berjuang dengan memaksa dirinya melewati lubang kecil itu.
Kemudian kupu-kupu itu berhenti membuat kemajuan. Kelihatannya dia telah berusaha semampunya dan dia tidak bisa lebih jauh lagi. Akhirnya orang tersebut memutuskan untuk membantunya. Dia mengambil sebuah gunting dan memotong sisa kekangan dari kepompong itu.
Kupu-kupu tersebut keluar dengan mudahnya. Namun, dia mempunyai tubuh gembung dan kecil, sayap-sayap mengkerut. Orang tersebut terus mengamatinya karena dia berharap bahwa, pada suatu saat, sayap- sayap itu akan mekar dan melebar sehingga mampu menopang tubuhnya, yang mungkin akan berkembang seiring dengan berjalannya waktu.
Semuanya tak pernah terjadi.
Kenyataannya, kupu-kupu itu menghabiskan sisa hidupnya merangkak di sekitarnya dengan tubuh gembung dan sayap-sayap mengkerut.
Dia tidak pernah bisa terbang.
Yang tidak dimengerti dari kebaikan dan ketergesaan orang tersebut adalah bahwa kepompong yang menghambat dan perjuangan yang dibutuhkan kupu-kupu untuk melewati lubang kecil adalah jalan Tuhan untuk memaksa cairan dari tubuh kupu-kupu itu ke dalam sayap-sayapnya sedemikian sehingga dia akan siap terbang begitu dia memperoleh kebebasan dari kepompong tersebut.
Sesudah pesan itu tertulis morald hazard yang panjang lebar menerangkan sesuatu tentang proses atau perjuangan.
Tiba-tiba saya jadi merasa pernah menjadi kepompong di dalam cerita itu. Ketika proses kepompong saya rasakan terlalu lama, keinginan untuk mendobrak, menyobek dan menyeruak keluar dari kepompong begitu besar. Tapi apa daya saya gak bisa melakukannya dari dalam, yang bisa tentuanya orang dari luar kepompong itu sendiri.
Akhirnya saya mengerti, bahwa proses kepompong atau keluar dari kepompong adalah sebuah proses yang diciptakan Tuhan untuk membuat kita lebih matang dan jadi ”orang”.
Sering kita tidak sabar dengan proses, dan ingin cepat keluar dari proses tersebut dengan instan. Siapapun anda, apapun jabatan anda sekarang itu adalah proses untuk menjadi yang lebih baik lagi dari sekarang.
Ketika saya menjadi manager ranting di sebuah pulau, dua tahun pertama saya rasakan terlalu lama. Saya merasa sudah cukup waktunya untuk ”belajar”. Selama ini saya memang merasa saya di tempatkan disana untuk belajar. Namun ketika 2 tahun saya lewati dan ternyata tidak ada tanda2 pindah walaupun isunya sangat kental waktu itu, saya mulai sedikit merasa terlupakan, kecil hati, dan demotivasi.
Tahun ketiga saya lewati dengan lebih berat, karena selain demotivasi, juga ternyata kondisi pekerjaan yang bobotnya makin meningkat dengan adanya pemadaman sepanjang tahun. Ini tidak pernah terjadi. Dua tahun pertama saya lewati dengan ongkang-ongkang kaki, hampir tidak ada kendala yang berarti. Kinerja tercapai begitu saja tanpa kerja yang berarti. Namun tahun ketiga semuanya menjadi berat. Pemadaman, mesin rusak disana sini, demonstrasi, dan belum lagi persoalan pegawai yang makin bermasalah ditambah lagi beban kinerja yang makin berat.
Seluruh suasana hati yang makin galau dan tertekan membuat saya tiba-tiba saya jadi bisa menulis. Saya juga bikin blog. Dementor adalah tulisan pertama saya yang mengambarkan suasana hati saya ketika itu. Dan tulisan itu berlanjut. Saya juga semakin dekat dengan wartawan. Hampir setiap minggu berita tentang saya ada di surat kabar harian lokal. Saya juga semakin dekat dengan aparat di daerah, Danlanal, Kapolres, Wakil Bupati, Camat, RT, RW. Semuanya menjadi seperti sahabat yang mendukung saya. Dan intinya saya merasa menjadi semakin tegar dan berbobot.
Ketika tulisan pengalaman saya yang saya kirimkan karena ada permintaan untuk sharing knowledge berhasil menjadi tulisan terbaik, sebuah titik cahaya seolah ada di depan saya. Saat itu jugalah tulisan tentang seseorang dan kepompong masuk ke email saya.
Tuhan ternyata maha bijaksana, kalau dulu pengharapan saya untuk pindah dalam waktu 2 tahun terkabul, saya tidak akan mendapatkan pengalaman satu tahun yang berharga. Tuhan lebih tahu kapan kita akan keluar dari kepompong untuk menjadi seekor kupu-kupu.
Eits..maaf, tidak semua kepompong yang menjadi kupu-kupu. Saya ingat waktu kecil ketika pelajaran tentang metamorfosis kupu-kupu diajarkan disekolah. Di rumah saya dan saudara-saudara saya mempraktekan seperti yang diajarkan di buku. Di halaman saya banyak tanaman pagar yang banyak ulatnya. Ulat-ulat itu kami tangkap dan masukkan ke dalam stoples lengkap dengan daun-daunnya. Stoples tersebut kami tutup dengan plastik yang terlebih dahulu dilobangi.
Tiap hari kami lihat stoples tersebut. Tak lama kemudian ulat-ulatnya sudah berubah jadi kepompong. Kami semakin tak sabar menunggu kupu-kupu yang cantik yang akan keluar dari kepompong.
Suat pagi salah seorang saudara saya berteriak2 kegirangan. Kepompong kami sudah menjadi kupu-kupu. Semua berkumpul dekat stoples untuk melihat. Tetapi serangga apa itu, tidak semuanya menjadi kupu-kupu. Sebagian malah jadi binatang yang kami waktu itu tidak tau namanya, hitam, kecil punya sayap dan sering saya lihat di bunga halaman depan. Ternyata tidak semua kepompong jadi kupu-kupu.
Profil Facebook Badruz Zaman

Senin, 16 Februari 2009

HIDUP TEKNIK

Sebuah kilas balik (bagian pertama)

Hidup Teknik 3x…

Yel-yel itu masih terngiang di telinga manakala mengenang masa-masa OSPEK dulu. Tidak cukup Cuma 2 minggu atau 2 bulan, tapi 1 tahun penuh kami di pelonco. Kami tidak ada tempat mengadu, tidak ada tempat berlindung, katanya mereka membentuk mental kami, tapi kenapa harus seperti ini? Pergolakan2 itu terus berputar-putar lagi dalam kepala saya. Stres, capek, letih, dan bahkan depresi, ya benar, kawan saya sempat depresi berat dan seperti orang linglung. Namun ditengah kondisi mental seperti itu, ada satu kalimat dari senior saya yang menguatkan dan ini jujur, bahkan sampai sekarang menjadi pedoman saya dalam menjalani tugas yang semakin hari semakin berat. Cuma 2 kata, “jalani saja” toh semua itu pasti akan berakhir (kata yang terakhir cuma ada dalam benak saya).

Sekarang di dunia kerja, yang saya hadapi lebih berat. Ternyata semua yang saya alami waktu OSPEK dulu tidak ada apa2nya dibandingkan dengan dunia kerja sekarang, sungguh, dan sekali lagi lembaran-lembaran OSPEK terbuka lagi dalam benak saya, dan itu anehnya hal itu membuat saya bisa tersenyum. Sekali lagi teringat lagi kata-kata senior “jalani saja” semua ada akhirnya kok.

Rekan-rekan sekalian, ini bukan sinetron indonesia, dimana si tokoh jahat tiba2 dengan mudah menjadi sadar dan menjadi orang baik berhubung karena durasinya mau habis, dan terkesan sekali dipaksakan. Tidak dengan hal OSPEK ini, saya tidak dengan tiba2 sadar bahwa OSPEK ini adalah hal baik yang harus wajib dilakukan untuk semua siswa baru untuk membentuk mental mereka. Tapi saya juga tidak menyarankan bahwa apa yang sudah kami terima dulu juga harus dilakukan pada mahasiswa-mahasiswa baru sekarang.

Terus terang saya juga kurang setuju dengan pola-pola pelonco seperti itu. Tidak mendidik, betulkah? Ya setidaknya tidak semuanya yang mendidik, banyak juga yang hanya untuk “kesenangan senior” semata. Tapi tidak semua senior yang seperti itu, masih banyak senior yang memang punya niat untuk membantu membentuk mental adik2 barunya, walaupun mereka bukan lulusan psikologi manapun ataupun lembaga pengembangan kepribadian.

Bang Nal, Iwan kur, Akang, Roni kal, dan maaf buat senior2 yang lain, sosok2 inilah yang begitu kental membayang dalam ingatan manakala mengingat masa OSPEK dulu. Gak tau kenapa, mungkin karna rambut mereka gondrong waktu itu, dan iwan kur yang petantang petenteng menghardik kami semua yang kena hukuman, yang jelas karena mereka ada di TIM TATIB waktu itu (ini perkiraan saya aja). Tapi ingatan2 itu kemudian jadi bagian dari kenangan-kenangan indah yang menjadi enak untuk diceritakan di masa2 sesudahnya.

Kembali kepada membentuk mental, atau pola pikir mahasiswa baru, entah mengacu kepada siapa atau buku apa, seolah-olah senior waktu itu (termasuk kami tahun berikutnya) mempunyai teori yang begitu cemerlang. Bersihkan adik2 itu dari pola pikir masa SMA yang lebih banyak egonya, kemudian doktrin mereka dengan pola-pola baru yang lebih “teknik”. Saya khususkan teknik karena “Anak teknik berbeda dari anak UNAND” (kata mereka dan kata kami waktu itu) he eh..tapi setidaknya pola itu sudah berhasil pada kami, trus kepada angkatan sesudah kami dan entahlah kepada angkatan seterusnya.

Oke, mengenai OSPEK kita pending dulu, karena sudah ada dua angkatan di “program studi teknik elektro”. Artinya kami sudah bisa membuat himpunan. Lho, kalau himpunan belum ada, trus siapa yang meng OSPEK kami? Maaf adik2, kami waktu itu meneriakan hidup teknik MESIN, 3 kali. Kenapa?

Kenapa? Karena jurusan teknik elektro belum ada, gedung teknik elektro belum ada, dosen teknik elektro sudah ada tapi entah dimana, jangan harap kami punya labor, punya buku2 referensi, atau setidaknya seseorang yang bisa ditanyai ini itu. Tidak sama sekali. Teman saya Peri (Konti) kalo ditanya kenapa masuk teknik elektro, jawabanya karena “takicuah oleh pak Sukri”. Hehehe…Pak sukri memang seorang motivator yang hebat. Kami semua terkagum-kagum dengan beliau sewaktu memaparkan program teknik elektro ke depan sewaktu OSPEK. Elekteo satu2nya proyek percepatan insinyur yang dananya dibiayai langsung dari ADB. Elektro ke depan bakal mempunyai gedung megah, labor lengkap, dan lokasinya sedang disipakan di Limau manis. Wah, Bangga telah memilih teknik elektro (sesudah teknik mesin) karena merasa derajat kami naik satu derajat dibanding teknik2 lainnya. Setahun, dua tahun, tiga tahun, kebanggaan itu masih ada tapi kualitasnya memudar. Kami semua mahasiswa “fiktif”, katanya anak elektro, tapi gak punya apa2 yang menandai ke elektroanya. Sewaktu ketua jurusan lainnya bertitel Master atau Doktor, Phd, ketua jurusan elektro adalah seorang ST. yah ST, dan bahkan bukan Insinyur, walaupun sama tetapi setidaknya lebih bergengsi kalau insinyur.

Hal lain yang membuat kebanggaan memudar adalah minat mahasiswa baru memilih elektro bertambah sedikit, angkatan sesudah kami sedikit (banget). Saya tidak begitu ingat jumlahnya, tapi Ceweknya cuma ada 4 (padahal angk kami Cuma ceweknya Cuma 3), yang satu ceweknya besar, 3 lagi kecil2 (maaf seribu maaf jangan tersinggung). Dan tipikal ceweknya asli teknik, teknik banget.

Catt. Waktu itu keberhasilan sebuah jurusan dalam meraih peminat, sebagian mahasiswa menilai dari jumlah ceweknya, semakin banyak ceweknya brarti peminat jurusan itu banyak. Sebuah logika yang aneh.

OSPEK mahasiswa baru angkatan 96 waktu itu dapat kami selesaikan cuma satu semester. OSPEK pertama yang betul2 punya elektro. Waktu tercepat dibandingkan dengan jurusan lain. Selain karena waktu itu semangat kami sedang menggebu2 untuk ingin “menghajar anak baru”, tapi juga karena waktu itu ada larangan acara yang berhubungan dengan penerimaan mahasiswa baru diluar kampus. Trus kenapa kami bisa “menghajar” angk 96? Karena mereka kami kibuli dengan acara studi lapangan ke PLTU Ombilin, dan sehabis studi lapangan, baru mereka kami hajar di Sawah Lunto, dan benar2 dalam sawah. Tapi jangan marah, sebab mereka mendapat pengalaman yang berharga, setidaknya mereka pernah lihat bagaimana sebuah PLTU satu2nya di SUMBAR dioperasikan. Saya aja belum pernah lihat, karena sewaktu mereka studi lapangan, saya menyiapkan lapangan yang sebenarnya…