Wartawan pertama yang kukenal
adalah Bapakku. Beliau adalah wartawan koran harian terbesar di Sumatera Barat
yaitu Harian Singgalang. Itu dulu sebelum group Jawa Pos menyerbu dan merajai
media di Sumatera Barat. Sekarang beliau tidak lagi menjadi wartawan. Aku tidak
ingat kapan beliau meninggalkan profesi itu. Dulu Beliau punya ruang kerja
sendiri di rumah. Aku sering ngintip bapak ngetik berita sampai larut malam.
Bapakku hebat, dia ngetik tanpa liat tuts mesin ketik. Dari beliau jugalah aku
belajar mengetik sepuluh jari, itu istilah kalau ngetik make semua jari.
Dengan Bapak pulalah aku belajar
memotret. Bapak mengajarkan bagaimana mencari fokus, mengatur bukaan lensa dan
kecepatan cahaya. Waktu itu kamera belumlah otomatis seperti sekarang. Yang
hebatnya, Bapak mengajarkanku memotret tanpa blitz di dalam lorong Goa Jepang
di Bukittinggi yang temaram.
Dulu di rumah banyak sekali
foto-foto. Bermacam-macam foto ada disitu entah milik siapa. Bapak punya tempat
foto yang berbentuk kaleng kotak. Kata Ibu ku, Bapak kadang juga sering nyambi
jadi juru foto. Banyak foto-foto yang aneh dan bikin takjub, seperti foto bus
masuk jurang, foto rekontruksi pembunuhan. Tapi lebih banyak lagi foto-foto
orang salaman dan berpose bersama.
Aku merasa Bapak sangat hebat,
karena waktu itu setiap ada razia kendaraan bermotor, bapak selalu dibiarkan
lewat. Bapak bilang polisi-polisi itu kenal dengannya. Hebat betul jadi
wartawan, kupikir. Tapi aku yakin sekali, Bapak orangnya patuh dengan
peraturan. Waktu bangun rumah kami yang di desa terpencil aja, bapak sibuk
ngurus IMB nya ke kantor Bupati.
Wartawan yang kukenal kemudian
adalah setelah aku dewasa. Ketika aku bertugas di suatu daerah di Kepulauan
Riau, pertama kali didatangi wartawan dari organisasi wartawan yang bukan PWI.
Mereka berdua datang dari daerah Sumatera Utara. Setelah berbasa-basi sebentar,
mereka kemudian mengeluarkan koran mingguan dan beberapa kalender juga sebuah
kuitansi. Di kuitansi tertulis angka 400 ratus ribu rupiah. Koran berikut
kalender dihargai 400 ribu rupiah dan aku haus beli. Tiba-tiba aku ingat bapak,
apa bapakku juga dulu jual kalender pikirku. Ah tapi gak mungkin, bapakku
wartawan asli.
Akhirnya mereka kukasih uang
50.000 dalam amplop. Mereka kelihatan kecewa, “kalau limapuluh ribu tidak dapat
kalender Pak,” ujarnya.”Gak apa-apa”’ kataku sambil tersenyum. Buat apa juga
kalender yang bergambar mereka semua.
Wartawan-wartawan berikut yang
aku kenal juga tidak berbeda dengan wartawan yang menjual kalender tadi. Ada
yang menjual majalah yang namanya sepintas mirip majalah terkenal ibukota, tapi
yang ini kadang terbit, kadang nggak. Ada juga wartawan yang sering ngancam mau
masukin aku ke koran, eeh, ya justru baguskan bikin aku terkenal. Pernah sekali
waktu aku terpaksa memutus listrik rumah salah seorang wartawan karena nunggak
sudah 5 bulan. Kemudian dia minta dispensasi karena majalahnya belum terjual.
Akhirnya aku beli semua majalah yang dia bawa dan kusuruh dia bayar listrik di
loket.
Kemudian media-media besar mulai
masuk ke daerahku. Wartawan-wartawan atau kontributor dari media besar tersebut
lebih profesional. Aku lebih nyaman bergaul dengan mereka, kami bisa sama-sama
ngopi di kedai kopi kalau merasa di kantor terlalu formal. Mereka murni
wartawan, mereka tidak meminta uang atau menjual apapun, itu yang penting.
Sesudut didalam hatiku, masih
terselip keinginanku untuk menjadi wartawan, seperti Bapakku atau seperti
temanku di jiplus, bang Jarar.
0 komentar:
Posting Komentar