Kamis, 12 Juli 2012

WARTAWAN YANG KUKENAL


Wartawan pertama yang kukenal adalah Bapakku. Beliau adalah wartawan koran harian terbesar di Sumatera Barat yaitu Harian Singgalang. Itu dulu sebelum group Jawa Pos menyerbu dan merajai media di Sumatera Barat. Sekarang beliau tidak lagi menjadi wartawan. Aku tidak ingat kapan beliau meninggalkan profesi itu. Dulu Beliau punya ruang kerja sendiri di rumah. Aku sering ngintip bapak ngetik berita sampai larut malam. Bapakku hebat, dia ngetik tanpa liat tuts mesin ketik. Dari beliau jugalah aku belajar mengetik sepuluh jari, itu istilah kalau ngetik make semua jari.

Dengan Bapak pulalah aku belajar memotret. Bapak mengajarkan bagaimana mencari fokus, mengatur bukaan lensa dan kecepatan cahaya. Waktu itu kamera belumlah otomatis seperti sekarang. Yang hebatnya, Bapak mengajarkanku memotret tanpa blitz di dalam lorong Goa Jepang di Bukittinggi yang temaram.
Dulu di rumah banyak sekali foto-foto. Bermacam-macam foto ada disitu entah milik siapa. Bapak punya tempat foto yang berbentuk kaleng kotak. Kata Ibu ku, Bapak kadang juga sering nyambi jadi juru foto. Banyak foto-foto yang aneh dan bikin takjub, seperti foto bus masuk jurang, foto rekontruksi pembunuhan. Tapi lebih banyak lagi foto-foto orang salaman dan berpose bersama.

Aku merasa Bapak sangat hebat, karena waktu itu setiap ada razia kendaraan bermotor, bapak selalu dibiarkan lewat. Bapak bilang polisi-polisi itu kenal dengannya. Hebat betul jadi wartawan, kupikir. Tapi aku yakin sekali, Bapak orangnya patuh dengan peraturan. Waktu bangun rumah kami yang di desa terpencil aja, bapak sibuk ngurus IMB nya ke kantor Bupati.

Wartawan yang kukenal kemudian adalah setelah aku dewasa. Ketika aku bertugas di suatu daerah di Kepulauan Riau, pertama kali didatangi wartawan dari organisasi wartawan yang bukan PWI. Mereka berdua datang dari daerah Sumatera Utara. Setelah berbasa-basi sebentar, mereka kemudian mengeluarkan koran mingguan dan beberapa kalender juga sebuah kuitansi. Di kuitansi tertulis angka 400 ratus ribu rupiah. Koran berikut kalender dihargai 400 ribu rupiah dan aku haus beli. Tiba-tiba aku ingat bapak, apa bapakku juga dulu jual kalender pikirku. Ah tapi gak mungkin, bapakku wartawan asli.

Akhirnya mereka kukasih uang 50.000 dalam amplop. Mereka kelihatan kecewa, “kalau limapuluh ribu tidak dapat kalender Pak,” ujarnya.”Gak apa-apa”’ kataku sambil tersenyum. Buat apa juga kalender yang bergambar mereka semua.

Wartawan-wartawan berikut yang aku kenal juga tidak berbeda dengan wartawan yang menjual kalender tadi. Ada yang menjual majalah yang namanya sepintas mirip majalah terkenal ibukota, tapi yang ini kadang terbit, kadang nggak. Ada juga wartawan yang sering ngancam mau masukin aku ke koran, eeh, ya justru baguskan bikin aku terkenal. Pernah sekali waktu aku terpaksa memutus listrik rumah salah seorang wartawan karena nunggak sudah 5 bulan. Kemudian dia minta dispensasi karena majalahnya belum terjual. Akhirnya aku beli semua majalah yang dia bawa dan kusuruh dia bayar listrik di loket.

Kemudian media-media besar mulai masuk ke daerahku. Wartawan-wartawan atau kontributor dari media besar tersebut lebih profesional. Aku lebih nyaman bergaul dengan mereka, kami bisa sama-sama ngopi di kedai kopi kalau merasa di kantor terlalu formal. Mereka murni wartawan, mereka tidak meminta uang atau menjual apapun, itu yang penting.

Sesudut didalam hatiku, masih terselip keinginanku untuk menjadi wartawan, seperti Bapakku atau seperti temanku di jiplus, bang Jarar.

0 komentar:

Posting Komentar